Aku dan facebook

Semula aku tak mau ikut latah untuk membuat account di facebook. Tak lain karena aku memang gaptek, gagap teknologi. Namun, Mery, tunanganku terus memaksa, sehingga aku luluh dibuatnya. “Ini zamannya facebook mas, gak usah takut, gak ribet kok, biar kita bisa keep contact terus”. Bagi sebagian orang, bertemu dengan teman lama di dunia maya merupakan pengalaman mengasyikkan. Mereka bisa berbagi cerita dan bernostalgia bersama mengenang kisah lama. Namun, tidak bagiku. Facebook justru mendatangkan kegundahan batin yang sulit dihilangkan.

Aku membuka halaman facebook dan menemukan 1 permintaan teman. Seseorang bernama Kinanti telah menambahkan aku sebagai temannya. Dia juga telah menuliskan sebuah pesan untukku. Pesan yang cukup singkat karena isinya hanya “ Hallo ! apa kabar?”. Kinan, dia masih saja cantik seperti dulu, tak sedikitpun kulihat kerutan di wajahnya, meski usianya telah menginjak tigapuluhan. Dari fotonya, dia kelihatan sangat energik, supel, dan tegas. Samar-samar, ingatanku telah kembali padanya, bahkan, aku masih mengingat seluruh detail bagian wajahnya, hidung mancung, mata bulat, bibir tipis. Lalu mendadak aku ingat, aku pernah mencium bibir indah itu. Kinan, seseorang yang pernah menjadi bagian dari perjalanan hidupku, seseorang yang telah mengisi kekosongan jiwaku, seseorang yang pernah membuatku sebagai lelaki yang sangat bahagia di dunia. Namun, ia juga seseorang yang benar-benar ingin aku lupakan, seseorang yang aku tak tahu entah berada dimana, dan aku pun tak mau tahu tentang keberadaannya. Tiba-tiba datang di halaman facebook-ku, memintaku konfirmasi untuk menjadi teman, dan dengan enteng bertanya apa kabar? Mengapa tidak sejak 5 tahun lalu kau tanyakan kabarku? Mengapa kau pergi begitu saja dari diriku? Mengapa kau kembali setelah aku merasa benar-benar yakin bisa melupakanmu? Mengapa? Dan sederet mengapa lain dalam otakku berseliweran tak tentu.

Aku bahkan telah membuang jauh-jauh buku kenanganku bersamanya. Saat menyenangkan dan menyedihkan yang kami lalui bersama. Tentang cerita cinta kita, tentang hari depan yang telah dirancang bersama, dan dihancurkannya kemudian. Ooh, Kinan…., dalam sisi hatiku berkata aku masih menyayangimu, meski hanya setitik rasa sayang, aku ingin bertemu dengan dirimu, tapi sisi hatiku yang lain berkata, bahwa aku tak perlu menjalin pertemanan denganmu lagi, sebab aku telah bertunangan dengan rekan kerjaku, Mery. Hatiku bergejolak, antara ya dan tidak. Sebuah keyakinan menderaku, bahwa, tak ada salahnya menjalin hubungan kembali dengannya, tali silaturahmi akan membawa rezeki, toh, kami sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Aku mengkonfirmasinya sebagai teman.

Aku tak tahu apakah Kinan masih memikirkanku atau tidak, aku juga tak tahu apakah Kinan masih menyimpan rasa padaku, perhatian, atau cinta. Aku benar-benar tak tahu, dan juga tak mau tahu. Mungkin saja aku yang besar kepala, merasa dia masih memiliki rasa perhatian, meski sedikit. Jantungku tak berhenti berdegup kencang saat aku dan Kinan memutuskan untuk kopi darat.

“Sibuk apa sekarang mas? Masih jadi arsitek?”, Tanya Kinan padaku. “Masih, aku bahkan mendesain sebuah Taman Kanak-Kanak” jawabku. Percakapan kami agak canggung, aku bahkan cenderung terkesima dibuatnya. Kinan malah tambah cantik dibanding dulu, dia semakin terlihat dewasa, sejenak aku merasa menjadi pengkhianat cinta. “Wah, hebat sekali mas, ntar aku main deh!” Kinan meneguk es jeruknya. “ Kau sendiri masih suka ikutan demo?” tanyaku. “Wakakak…, namanya juga aktivis kampus, ya masih lah…, kemarin barusan ikut demo masak pakai panci teflon!” Kinan tertawa lebar, aku pun ikut tertawa, dia…, masih saja seperti dulu, pandai membuatku tertawa. Perbincangan kami jadi makin cair, dan entah mengapa aku justru menikmatinya.
“Ini sekolahnya mas? Wah, bagus juga ya!” serunya sambil memegang beberapa mainan anak. “Ayo masuk ke ruanganku!” Aku mengajaknya masuk ke dalam ruanganku. “Wah wah wah…., kamu jadi kepala sekolah to? Hebat juga kamu mas!” Kinan memujiku sambil menepuk bahuku. Ada getaran yang mahadahsyat mengguncang tubuhku. Darahku seakan mengalir lebih cepat dari biasanya. Mery melihatku dengan pandangan sinis. “Aku ambilkan minum dulu” kataku mengatasi detak jantung yang berlebihan ini. Mery segera menyusulku ke dapur. “Siapa dia?” tanyanya penuh selidik. “Teman kuliah” jawabku singkat. “Awas kalau kau macam-macam!” ancamnya. “Kau cemburu?” tanyaku sedikit meledek, Mery beringsut sambil membanting pintu.
“Anakmu cantik ya, aku kemarin melihatnya di halaman facebook-mu”
“Itu foto waktu dia masih 10 bulan mas…, “
“Wah, bisa jadi sekarang usianya sudah 3 tahun ya”
“Ya, usianya kini sudah 3 tahun lebih 5 bulan”
“Sudah sekolah?”
“Aku nggak tahu mas, dibawa kabur bapaknya”
“Hah! Oooh, sory”
“Gak papa, Jangan cerita yang sedih-sedih ah....., kamu sendiri?”
“aku sudah bertunangan,” aku berharap wajahnya sedikit menyimpan kecewa. Namun Kinan tersenyum.
“oooh, eh, mas, tunggu! Siapa nama anak ini?”
Kinan tiba-tiba menunjuk foto di meja kerjaku. Foto kegiatan out bond di perkebunan teh.
“Panggilannya Rani, Hati Nurani Rakyat”
“Benarkah? Tak salah lagi, dia anakku mas!” katanya seraya memeluk foto itu.
Facebook memang tak hanya menghubungkan seseorang dengan yang lain di dunia maya, tetapi juga di dunia nyata.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Aku dan facebook"